Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, July 30, 2013

Menimbang Mama Didi, Didi Moha, dan Yasti Mokoagow


PERTANYAAN yang terlontar di sela-sela reriungan usai buka puasa sungguh mengejutkan saya. ‘’Abang rupanya serius mendukung Didi Moha terpilih lagi ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) 2014 nanti? Begitu seriusnya sampai-sampai sekarang mulai memuji-muji Mama Didi.’’

Saya memerlukan jeda cukup panjang sebelum mentauziahkan ihwal yang jadi sorotan ini. Memuji mantan Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk, Marlina Moha-Siahaan atau Mama Didi? ‘’Ya, di tulisan yang baru diunggah di blog, yang judulnya ‘’Tura’!’’, kelihatan betul Abang memuji-muji Mama Didi.’’

Oh, rupanya itu pangkal-soalnya. Padahal, seingat saya, tidak ada kandungan pujian terhadap Mama Didi di tulisan itu. Apa yang saya beberkan adalah fakta yang dilihat dan dialami sebagian besar warga Mongondow yang bermukim –setidaknya—di Kota Kotamobagu (KK) atau Bolmong Induk. Setuju atau tidak terhadap pendapat saya, adalah persoalan yang sama sekali berbeda. Fakta adalah fakta. Sikap adil adalah sikap adil. Lepas dari apakah saya secara pribadi dekat atau jauh, berkerabat atau tidak, dengan siapa pun.

Tapi tunggu dulu, pertanyaan cukup mengganggu itu masih berlanjut. ‘’Abang katanya ( ‘’katanya’’ adalah kata sangat berbahaya karena mengandung spekulasi) mendukung Didi sebab saat ini sudah berseteru dengan Yasti Mokoagow?’’ Waduh, pertanyaan ini benar-benar harus dibereskan sesegera mungkin sebelum menciptakan hubungan tak sedap dengan anggota DPR RI, Yasti Mokoagow, partai asalnya, dan orang-orang yang ada di sekitar dan berdiri di belakang dia.

Mudah-mudahan pertanyaan itu hanya mewakili pandangan satu-dua orang. Sejauh ini saya berusaha bersikap fair dan rasional, terutama saat mengemukakan pandangan dan pendapat lewat tulisan yang diunggah di blog ini. Lagipula, apa manfaatnya menggunakan repetan saya sebagai referensi?

Namun, sebagai pertanyaan, keingintahuan itu harus dijawab. Pertama, adakah fakta yang keliru dari apa yang saya tuliskan tentang Mama Didi? Sebagai politikus, dia memang meninggalkan jabatan Bupati Bolmong setelah berkuasa selama dua periode. Sekali pun demikian, dia tetap Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Golkar (PG) Bolmong yang menguasai DPR Bolmong. Dan selama lebih dua tahun, dia tetap bergiat di politik sekali pun tak banyak dipublikasi media massa.

Saya memaknai aktivitas politik dan sosialnya yang tak pikuk itu sebagai proses hibernasi. Kontemplasi seorang politikus memandang lagi dirinya, posisinya paska berkuasa, dan mungkin mengurusi hal-hal lain di luar sikut-sikutan dan intrik politik. Apa yang salah dari tafsir ini? Di sisi manakah kekeliruan, misalnya, memberi kesempatan kedua pada Mama Didi kembali ke panggung politik sebagai calon legislatif (Caleg) Bolmong di DPR Sulawesi Utara (Sulut), sebagaimana yang sedang dia ikhtiarkan?

Kedua, apakah saya sedang terlibat perseturuan dengan Yasti Mokoagow? Berseturu dengan politikus sekelas Yasti tidak pernah terlintas di pikiran saya. Apa yang kurang dari dia? Dia adalah salah satu politikus Sulut berdarah Mongondow yang tengah berkibar, duduk di posisi elit Partai Amanat Nasional (PAN), dan menjadi sosok di depan dan belakangan suksesnya beberapa tokoh meraih kursi Bupati dan Walikota di Mongondow.

Lebih dari itu, saya cukup mengenal dekat Yasti Mokoagow; baik karena ke-Mokoagow-annya, maupun dalam posisi politiknya. Tetapi tanpa kontribusi signifikan apapun. Sebagai politikus, dia dikelilingi orang-orang hebat yang siap memberikan saran, masukan, pertimbangan, dukungan, dan kerja politik riil. Akan halnya saya, kontribusi terbesar yang saya berikan adalah bertepuk tangan dan turut senang setiap kali mengetahui ada sumbangsih yang diberikan Yasti terhadap Mongondow dan orang-orangnya.

Karena sekadar mengenal dekat, saya tegaskan: Saya bukan siapa-siapa, apalagi dianggap penting atau berpengaruh secara politik terhadap dipilihnya dia sebagai anggota DPR RI. Buktinya, saya tidak pernah diundang di acara apapun di mana Yasti Mokoagow menjadi penggagas atau tokoh utamanya. Apalagi dimintai pendapat atau saran penting yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Tidak percaya? Coba tanyakan pada Yasti, benarkah bahwa dalam tujuh bulan terakhir kami baru sekali berkomunikasi, itu pun per telepon pada Rabu (24 Juli 2013), dimana kebetulan saya mendapat kehormatan dikontak oleh Walikota KK 2013-2018 (terpilih), Tatong Bara.

Percakapan dengan Walikota KK pun bukanlah tentang urusan gawat. Cuma sekadar silaturrahim. Kebetulan kami kenal dekat. Kebetulan kediamannya di Mogolaing tak jauh dari rumah Ayah-Ibu saya. Kebetulan Walikota sedang berada di Jakarta. Itu saja. Saya tidak berani, semisal mengklaim, dari sisi Ayah ada hubungan kekeluargaan dengan Tatong Bara. Nanti apa kata dunia?

Dan ketiga, benarkah saya pernah melontarkan dukungan agar Didi Moha terpilih kembali di DPR RI di pemilihan umum (Pemilu) 2014 mendatang? Benar, di banyak kesempatan informal (saya bukan tokoh politik, tokoh masyarakat, pengamat, apalagi elit partai politik, jadi apa yang saya katakan dapat dianggap sekadar ghirah politik orang awam yang warga Mongondow) saya memang ‘’mengkampanyekan’’  pendapat ini.

Dasarnya? Mari kita lihat peta politik 2014 mendatang dan peluang politikus Mongondow mewakili warganya di DPR RI. Kita mulai dengan menghitung bahwa Sulut punya enam wakil di parlemen pusat Di Pemilu mendatang Partai Demokrat (PD) mencalonkan tokoh-tokoh hebat, misalnya EE Mangindaan dan Lucky Korah, ke DPR RI. Menurut hemat saya, EE Mangindaan yang kini menjabat sebagai Menteri Perhubungan (Menhub) hampir pasti melangkah ke Senayan; demikian pula dengan Lucky Korah yang punya rekam jejak sangat baik (mantan Walikota Manado, Pjs Gubernur Sulut, dan Sekretaris Menteri –Sesmen—Pembangunan Daerah Tertinggal –PDT).

Partai lain, PDI Perjuangan, juga dipenuhi nama-nama yang mampu meraup suara. Setidaknya Bendahara PDI Perjuangan yang juga Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Sulut, Olly Dondokambay, dan anggota DPR RI, Vanda Sarundajang, masih akan terpilih kembali. Dengan kata lain, PD dan PDI Perjuangan berpeluang menduduki empat kursi (dari enam kursi) DPR RI Daerah Pemilihan (Dapil) Sulut.

Bagaimana dengan dua kursi tersisa? Kita lihat PG sebagai partai yang selalu berhasil mendudukkan wakil di DPR RI. Di urutan pertama daftar calon sementara (DCS) ada Didi Moha, politikus Mongondow berusia muda, yang dibayang-bayangi pendatang baru di urutan ketiga, Jerry Sambuaga, putra politikus kawakan Theo Sambuaga.

Adalah kehormatan besar bagi warga Mongondow dengan diletakkannya Didi Moha di urutan pertama. Sepengetahuan saya, Dewan Pengurus Pusat (DPP) PG punya kebijakan: Incumbent yang diharapkan duduk kembali, dipajang di nomor satu. Artinya, PG yang punya kepentingan tetap bergigi di Sulut, menyakini Didi Moha akan dipilih kembali oleh anggota dan simpatisan partai.

Kursi kedua (sebagaimana Pemilu 2009 lalu dimana PG mendapat dua kursi di Sulut untuk DPR RI), paling mungkin diduduki Jerry Sambuaga. Tetapi tentu saja kita tidak boleh mengabaikan pesaing kuat, misalnya seperti Lucky Korah; mantan Sekretaris Umum (Sekum) Gereja  Masehi Injili Minahasa (GMIM), Nico Gara, yang mencalonkan diri dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem); Mayor Jenderal (Pur) Glenny Kairupan, yang diusung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra); serta Yasti Mokoagow, petahana dari PAN.

Yasti Mokoagow dengan kinerja politik dan dukungan dari tokoh-tokoh, pemikir, dan pekerja politik yang ada di sekitarnya saat ini, semestinya tak menemui kesulitan mempertahankan kursinya di DPR RI. Dia berpotensi gagal kecuali bila PAN tidak dapat memenuhi parliamentary threshold (ambang batas parlemen) Pemilu 2014 sebesar 3,5 persen suara total partai di seluruh Indonesia.

Dengan memahami lanskap politik seperti itu, tidakkah sangat rasional orang Mongondow berlega hati memberikan dukungan pada Didi Moha; sembari tidak mengabaikan Yasti Mokoagow? Politik adalah urusan yang sangat rasional; dan bila saya berpendapat Didi Moha perlu dukungan ekstra, alasannya adalah demi kepentingan Mongondow dan seluruh warganya.

Pendapat itu sama sekali tidak berlawanan dengan perlunya dukungan terhadap Yasti Mokoagow, yang sudah dilakukan oleh banyak pihak dan orang.

Maka mari kita abaikan hal-hal sepele dan intrik-intrik tak perlu. Kalau Didi Moha dulu politikus ingusan yang duduk di DPR RI karena pengaruh Ibunya yang Bupati Bolmong, kita beri dia kesempatan membuktikan ingusnya sudah diseka sebersih-bersihnya. Bila dia belum matang dan pintar, semoga dengan berjalannya waktu kematangan dan kepintaran kini sudah menjadi bagian integral batok kepalanya.***